SAYA pernah iseng-iseng bertanya pada beberapa mahasiswa. Pertanyaannya kira-kira begini, “Doa apa yang kamu panjatkan saat sedang mengerjakan skripsi?”
Saya susul pertanyaan lain, “Misalnya kamu sedang menghadapi kesulitan. Mungkin dosenmu, mungkin kamu sedang malas?” Tanya saya lebih lanjut, “Mungkin doa yang kamu panjatkan untuk teman-temanmu. Seperjuangan. Misalnya?”
Ternyata jawaban mereka hampir seragam. Beberapa jawaban di antaranya kalau saya narasikan begini. “Ya Allah mudahkanlah saya dalam mengerjakan skripsi”, “Duh, Gusti kok pak itu sulit bimbingan?”, “Semoga Tuhan memudahkan skripsimu”, “Kita sama-sama mendoakan, ya. Agar skripsi ini segera kelar”, “Ya Allah saya tinggal selangkah lagi. Mudahkanlah.”
Di lain waktu saya tanya ke beberapa bimbingan skripsi saya yang laki-laki. Pertanyaan saya hampir sama. Apa yang biasa mereka ekspresikan saat menghadapi sulitnya bimbingan dengan dosen? Juga kesulitan-kesulitan lain.
Jawaban para mahasiswa tersebut — mungkin yang banyak didengar dari kaum laki-laki — kebanyakan mengumpat. Ada yang memaki dengan umpatan, dari yang biasa sampai yang kasar. Paling tidak ini penilaian secara umum. Bukan menurut ukuran komunitas tertantu. Misalnya, “Asu!”, “Jiancuk!”, “Diamput!”, “Gendeng dosen itu!” dan sebagainya. Ada juga yang mendoakan jelek para pembimbingnya tersebut.
Namanya juga mahasiswa. Anaknya orang banyak. Tentu menanggapinya macam-macam. Kadang reaksinya spontan. Jawaban dan doa-doa itu juga menunjukkan seberapa tingkat stress, religiusitas dan juga kuatnya daya juang masing-masing mahasiswa.
Out of The Box
Menarik kiranya mengamati perilaku mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Tetapi bagi saya yang sangat menarik adalah doa-doa yang mereka ungkapkan sebagai sebuah pelepas uneg-uneg, stress, atau kepasrahan.
Para mahasiswa itu sadar, bahwa mereka tak bisa melakukan sendiri tugas-tugas dalam usaha menyelesaikan skripsi itu. Ada faktor lain yang berada di luar mereka. Salah satunya dosen.
Mengapa dosen? Karena dosen ikut menjadi penentu bisa ujian atau tidak. Bukan soal apakah dosen itu pinter atau tidak, tetapi lebih berkaitan karena dosen-dosen itu pembimbing. Sementara dalam syarat administratif, mahasiswa dinyatakan siap ujian jika ada tandatangan dosen pembimbing.
Mereka juga bisa dikatakan lulus manakala pengujinya sudah tanda tangan pula. Sesuatu yang sebenarnya hanya alasan adminstratif tetapi nyata terjadi. Itu bagian dari sistem akademik, tentu saja.
Saya jadi berpikir, kenapa mahasiswa itu tidak berusaha mendoakan dosennya saja? Jadi bukan berdoa untuk dirinya sendiri sebagaimana contoh jawaban mahasiswa di awal tulisan ini. Misalnya begini, “Ya Allah berikanlah kesehatan dosen pembimbing saya”, “Ya Tuhan berikanlah kelapangan urusan dosen-dosen saya”.
Mengapa demikian? Kalau mahasiswa mendoakan dosennya sehat, berarti siapa tahu bisa membimbing mereka dengan baik. Begitu juga jika dosen pembimbingnya longgar tentu juga longgar untuk mereka juga, bukan? Jadi kenapa tidak dibalik saja berdoanya?
Ada beberapa catatan berkaitan dengan berdoa yang dibalik itu. Pertama, doa untuk orang lain itu akhirnya untuk diri yang mendoakan juga, bukan? Mendoakan dosennya sehat berarti mendoakan dirinya sehat. Juga, jika dosen pemimbingnya tidak sehat maka ia tidak akan membimbing skripsi.
Kedua, melatih mahasiswa untuk tidak egois. Maksudnya, mereka dilatih berpikir untuk juga mementingkan orang lain. Ini tentu ideal. Jika berkaitan dengan skripsi maka dosen juga faktor lain yang ikut memengaruhi selesai tidaknya skripsi mahasiswa tersebut.
Ketiga, mendoakan orang lain itu susah dan tidak semua orang bisa. Mengapa? Karena kita terbiasa atau dibiasakan untuk berdoa bagi diri sendiri. Untuk kepentingannya sendiri. Jarang dalam doa-doa yang diajarkan itu untuk orang lain. Kecuali orang lain itu punya kepentingan. Kepentingan apa? Lagi-lagi kepentingan untuk dirinya sendiri. “Semoga engkau menjadi jodohku”, ini doa ke orang lain tetapi tetap untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan?
Berdoa untuk diri sendiri tetap baik dan tidak jelek. Tetapi mendoakan orang lain tentu tak kalah baiknya. Ia punya pahala lebih besar karena tak biasa dilakukan atau secara tidak langsung tak berhubungan dengan orang yang mendoakan tersebut. Justru di situlah keikhlasan mahasiswa dalam berdoa diuji. Misalnya, jika dosennya itu sangat sulit dalam proses pembimbingan, bisakah atau mampukah mahasiswa mendoakan kesehatan dosennya? Jadi bukan malah mengutuk atau memaki dan mengumpat-umpat.
Apalagi doa untuk orang lain punya kemanfaatan lebih banyak, bukan? Saya kadang meyakini ini. Kenapa manusia dianjurkan bersedekah? Karena manusia itu pada dasarnya cinta harta. Dengan anjuran sedekah, bukankah menunjukkan kepada manusia untuk tidak egois pada harta bendanya? Mengorbankan sesuatu yang dicintainya. Tentu berpahala banyak.
Sama dengan doa. Doa yang enak memang untuk dirinya sendiri. Coba sekali-kali mendoakan orang lain. Yang penting ikhlas. Doa yang ikhlas akan mudah dijawab oleh Tuhan. Tuhan mempunyai banyak “roti” di langit. Kita tinggal “menengadahkan di langit”. Roti-roti itu pasti akan jatuh pada saatnya.
Inilah rahasia doa yang tertukar. Mencoba melihat dari sisi lain yang bermanfaat untuk dirinya sekaligus orang lain. Mendoakan dosen — meskipun dibencinya — tetap punya kemanfaatan dari pada mengumpat dan mencacinya. Saatnya berpikir out of the box.
*Penulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa dihubungi di twitter: @nurudinwriter dan ID: nurudinwriter