Oleh Mytha Khoirun Nisa, Nisa Dafiana Putri, Dinda Cinta Nainggolan, Farah Amelia Kacaribu, Imran Hatorangan Pulungan, dan Santo Maulana Putra Sinaga
MELIHAT perkembangan zaman yang semakin melaju, terlihat pula perlahan nilai-nilai Pancasila semakin memburam. Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa Pancasila merupakan jati diri bangsa dan di dalamnya terdapat amalan-amalan yang mesti kita lakukan. Salah satunya adalah menjaga persatuan dan kesatuan.
Semakin banyak pengaruh-pengaruh dari luar bisa saja memicu pecah belah antar masyarakat. Oleh karena itu pentingnya edukasi kembali Pancasila dan penghidupan kembali nilai-nilainya. Terutama di lingkup generasi milenial agar generasi muda selanjutnya tetap paham dan mengetahui apa itu hakikat pancasila sebenarnya.
Kemudahan masyarakat mendapatkan berbagai berita tanpa disadari membahayakan siapapun yang tidak bisa menyortir. Ya, bahaya radikalisme dan perpecahan terus mengintai masyarakat, tak terkecuali generasi muda Indonesia. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, berangkat dari kurangnya pemahaman terhadap Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti banyaknya pengaruh budaya asing yang masuk ke negara kita. Akibatnya banyak anak muda yang sering melakukan SARA terhadap orang lain, seperti membeda-bedakan warna kulit, suku, bahkan agama. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan Pancasila, terutama pada sila ketiga yaitu persatuan bangsa Indonesia.
Pada hakikatnya nilai-nilai Pancasila sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu agar tercipta lingkungan yang harmonis dan nyaman. Sejak saat ini, sekarang dan di masa depan, peran pemuda adalah sebagai pilar, penggerak dan pemelihara jalan pembangunan nasional menjadi sangat dinantikan kontribusinya.
Oleh karena itu, nilai-nilai kearifan Pancasila dipandang perlu dihidupkan kembali di tengah-tengah anak muda untuk menguatkan semangat persatuan.
Jika kita melihat fenomena maraknya konflik terkait SARA saat ini, sebenarnya merupakan cerminan dari proses panjang bangsa Indonesia dengan moto Bhinneka Tunggal Ika yang sedang diuji. Inilah salah satu tantangan yang harus dihadapi Indonesia.
Untuk mengatasi hal tersebut perlunya keseimbangan berbagai perbedaan yang ada di Indonesia serta diperlukan adanya toleransi antar masyarakat. Dipentingkan juga untuk selalu mengingat perjuangan pahlawan di masa lalu dan pentingnya mengedepankan persatuan bangsa.
Di era digital sekarang ini, penyebaran isu SARA menjadi sangat ganas dan percepatan masalah menjadi mudah meluas. Oleh karena itu, pencegahan masalah etnis menjadi penting untuk membangun pencegahan yang kuat di masyarakat, terutama di dunia maya. Jadi kita harus bisa mengimunisasi diri dan menangkis diri kita sendiri melalui pengamalan Pancasila.
Di sisi lain, sebagai ideologi, Pancasila akan bermakna ketika kehadirannya dapat dirasakan dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafas kehidupan masyarakat. Ia harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, agar tidak menjadi konsep yang hanya hidup di awang-awang.
Pada intinya menghidupkan kembali Pancasila tidaklah memerlukan konsep yang sulit. Karena sesungguhnya nilai-nilai Pancasila selalu hadir dan dapat ditemukan dalam keseharian.
Membantu teman yang sedang dalam kesulitan, itu Pancasila. Bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu persoalan, itu sudah termasuk Pancasila. Namun, tetap jangan dilupakan pembekalan rutin terhadap Pancasila terutama untuk para pemuda seperti mahasiswa.
Dengan adanya pembekalan akan menghindarkan mahasiswa dari yang namanya ‘the lost generation’. Dalam arti generasi yang ‘linglung’ karena tercabut dari jati diri dan akar budayanya.
Pancasila akan tetap terus ada bukan hanya sekedar lisan melainkan lebih dari itu jika para pemuda bangsa terus berkarya tanpa melupakan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila tidak akan pernah ketinggalan zaman, termasuk di tengah generasi milenial
sekarang ini.
*Para penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Studi Administrasi Bisnis, Universitas Sumatra Utara