Oleh Agil Nanggala*
“Pemilu telah usai, saatnya kembali merajut persatuan Indonesia.” Ajakan tersebut akan mudah dilakukan apabila semua pihak memiliki sifat kesatria. Siap menang serta kalah dalam mengikuti kontestasi pesta demokrasi, yang notabenenya guna memilih kepala negara, bukan melahirkan permusuhan antar sesama.
Mewariskan Apa?
Pemilu 2019 memang berlangsung kurang lebih selama 10 bulan, tetapi susah “move on”-nya lah yang menjadi permasalahan bersama. Akibat dari fanatisme yang tidak menggunakan akal sehat. Ditambah penggiringan opini oleh oknum yang semakin memperkeruh suasana, mengakibatkan bias di mana letak pendidikan politiknya.
Setelah disahkannya perubahan terhadap Undang-Undang Repubik Indonesia, sistem liberal sangat mewarnai pelaksanaan pemilu kita, yang dianggap sebagai bentuk terbaik sekaligus teradil.
Konsekuensi logisnya publik harus siap dihadapkan dengan berbagai dinamika politik, walau terkesan dipaksakan, karena faktor internal maupun ekstrenal yang membuat kecerdasan masyarakat kita dalam berdemokrasi masih dirasa kurang serta belum merata.
Sehingga publik figur menjadi faktor penting guna menjadi tauladan serta ikut dalam menjaga persatuan. Faktanya pemilu ideal belum mampu diperlihatkan bangsa kita, karena konflik yang dihasilkan selalu tidak efektif, hanya berkutat pada sindiran, cacian, makian, yang berujung pada SARA.
Wajar pemilu selalu diwarnai dengan konflik, karena memang ranahnya, tetapi konflik yang dihasilkan harus mendewasakan, bukan malah melahirkan individu bermental pendendam. Perlu kita sikapi sebelum berpengaruh pada karakter serta soliditas bangsa kita.
Kiranya semua pihak sangat paham akan moral “menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya”, jika sikap nasionalisme masih tertanam pada diri mereka sendiri. Bukan mempertanyakan, nyatanya ego sektoral, masih menempatkan bangsa kita pada posisi yang tidak seharusnya. Memprihatinkan, apabila dinamika pemilu mewariskan kebencian, terlebih pada mereka yang mengetahui akan pentingnya merawat tali persaudaraan.
Mewariskan Kepahlawanan
Gelaran pemilu telah usai, bahkan petahana telah mendapatkan SK pemenang pemilu dari KPU. Idealnya kedua kubu haruskah melakukan rekonsiliasi pasca pemilu, guna mendinginkan suasana politik bangsa kita.
Konsekuensi logis, setiap kompetisi pasti ada pihak yang menang serta yang kalah, mereka yang mengikutsertakan diri, tentu harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, terlepas bagaimana pun hasilnya.
Dinamika politik kita mengenal koalisi serta oposisi, koalisi biasanya merupakan pihak berkuasa, serta oposisi merupakan penyeimbang, guna menjalankan roda pemerintahan yang sesuai dengan Undang-Undang, tetapi Check and Balance akan optimal jika menggunakan akal sehat serta menerapkan nilai kejujuran.
Petahanana dan penantang haruslah paham, makna investasi sosial dalam pesta demokrasi, yaitu “mendewasakan masyarakat”, dengan memberikan performa terbaik guna mewujudkan pemilu yang berkualitas serta berintegritas.
Dengan kesadaran bersama akan pentingnya mewujudkan pemilu ideal, akan mengurangi narasi kampanye negatif bahkan kampanye hitam yang menjamur dimasyarakat. Sehingga faktor program kerja, janji kampanye, skill serta prestasi calon menjadi alasan utama mantapnya pilihan politik publik.
Ambisi politik bukan menjadi alasan dalam merusak kebersamaan, maka tularkanlah sikap kenegarawanan kepada setiap basis pendukung, karena grass root (akar rumput) merupakan kelompok yang paling sering berkonflik. Tentu kita tidak menginginkan bangsa yang rapuh.
Bukan berbicara siapa pemenangnya, melainkan siapa yang dapat dijadikan panutan sepanjang masa, dengan memberi contoh perilaku sebagai seorang negarawan.
Tokoh fiktif Iron Man, dikenang sebagai pahlawan perang pada film Avengers End Game. Di mana tokoh tersebut harus rela meninggalkan istri serta anak yang sangat ia cintai demi keberlangsungan hidup umat manusia.
Kalimat fenomenal “I love you three thousand” dari sang anak kepada ayah (Iron Man), membuat suasana kebatinan penonton menjadi haru. Sang ayah harus mengorbankan nyawanya guna memenangkan sekaligus mengakhiri perang yang begitu menyakitkan bagi umat manusia. Iron Man akan terus diingat sepanjang masa, karena sifat kepahlawanannya.
Pun seorang politisi, yang pada akhirnya harus berpikir dikenang sebagai “apa, siapa serta bagaimana” oleh masyarakat nanti. Siapun pasti ingin dikenang sebagai pahlawan, tetapi masalahnya terletak pada kapasitas serta kapabilitas kita sendiri.
Jika “I love you 3000” merupakan simbol ungkapan kasih sayang Morgan Stark (putri Iron Man) terhadap ayahnya (Iron Man), maka kita sebagai bangsa cukuplah mencintai negeri ini, seperti mencintai diri sendiri, lalu dideskripsikan melalui perilaku yang terpuji. (*)
*Penulis merupakan Mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)