Hampir seperti biasanya, sore itu saya ngopi di daerah Dermo. Lahan yang dahulunya persawahan sekarang disulap dengan warung kopi (warkop). Hampir di kanan kiri jalan dari depan pintu masuk perumahan Oma Campus sampai ke arah masuk daerah Dermo penuh warkop. Sekali-kali lewatlah daerah itu malam hari. Penuh dengan lampu kelap-kelip khas warkop. Malam haripun ada yang menyetel musik keras-keras. Hingga kedengaran sayup-sayup dari rumah saya.
Sore itu seperti biasanya. Saya naik sepeda motor Supra X mencari warkop. Hampir semua warkop daerah itu pernah saya kunjungi. Saya tak butuh wifi. Saya hanya butuh aliran listrik dan secangkir kopi. Saya tinggal memilih mana warkop yang nyaman. Tentu menurut saya.
Seperti biasanya lagi. Saya memakai topi dan bermasker dengan membawa tas berisi laptop. Bukan untuk gaya-gayaan. Tidak. Kadang saya butuh kenyamanan. Jika tidak maka wajah saya akan dikenal pengunjung. Ya kalau pengunjung itu tetap di tempat duduknya tidak apa. Sebab biasanya ada saja yang menghampiri saja mengajak ngobrol. Maklum, kebanyakan yang ngopi di sana mahasiswa.
Sudah memakai masker dan topi saja kadang casing tubuh saya mashi dikenali. Ada yang pernah Japri saya dan mengetahui kalau saya sering ngopi di daerah itu. Maklum, tak ada tempat aman dari gangguan mahasiswa. Hingga pernah saya mengatakan ke mahasiswa bahwa saya sedang mengerjakan tugas.
“Cuk, ngajukan judul enam kali gak diterima”.
Saya mendadak menoleh ke arah suara itu. Suara itu terdengar keras sehingga membuat orang menoleh. Termasuk saya.
“Kenapa? “tanya temannya.
“Masak ngajuin judul enam kali gak ada yang beres. Maunya apa dosen itu?”, jelas orang yang memecahkan suara di tengah musik warkop.
Sumpah serapah pun mulai dikemukakan di meja pojok kanan dekat pintu masuk itu. Saya hanya melirik. Sesekali menyimak pembicaraan mereka. Asyik juga menguping pembicaraannya.
Sambil main kartu dengan satu kakinya diangkat teman sebelahnya mengeluh pula.
“Ada yang sampai sepuluh kali. Parahnya, dosennya susah ditemu lagi”.
Dia lalu menambahkan.
“Kemarin nilai saya C. Kebanyakan sekelas nilainya C. Dosennya saja ngajarnya gak jelas. Mbulet. Kita seperti anak-anak yang dicekoki materi. Tidak komunikatif blas, ”ungkap seseorang yang bertopi hitam agak lusuh.
“Ya begitulah dosen. Kadang mau menangnya sendiri. Tau enggak.. Pernah saya tidak mengumpulkan tugas UTS. Saya protes pada dosen kenapa nilai saya C. Saya minta dosen memberikan penjelasan kanapa jadi niai itu.
“Terus?”
“Dia bilangnya kalau nilai UTS-nya gak ada. Saya bilang kalau saya mengumpulkan nilai. Dia ngotot mencari arsip gak ketemu. Saya lalu kirim ulang file. Padahal itu file baru. Saya kan memang gak buat tugas UTS? Jadilah nilai B, “ katanya sambil ketawa terbahak-bahak.
Kemudian mereka melanjutkan bermain kartu. Dengan sesekali membicarakan dosen-dosennya. Lalu merebak ke pembicaraan tentang mahasiswi-mahasiswinya. Itulah dunia warkop. Dunia yang mempunyai takdirnya sendiri.
Ruang Publik
Warkop itu ibarat ruang publik (public sphere). Apa saja bisa dibicarakan dan menjadi topik pembicaraan. Tak boleh tersinggung dengan apapun yang terjadi di warkop. Isi kepala bisa beda tetapi kopi menyatukan mereka.
Ya, ruang publik saat ini diambil alih oleh warkop. Semua bebas berbicara tanpa ada perbedaan status sosial, pendidikan, jabatan dan kekayaan. Semua orang punya hak sama untuk menyampaikan uneg-uneg-nya.
Bicara ruang publik kita jadi diingatkan pada Jurgen Habermas. Ia dianggap sebagai cikal bakal yang mengenalkan istilah tersebut. Habermas sendiri pernah menjelaskan bahwa ruang publik ini erat kaitannya dengan memudarnya kaum borjuis dan munculnya demokrasi massa. Itu terjadi pada abad ke-18. Ruang publik yang awalnya hanya dimiliki oleh kaum elit berubah menjadi ruang publik yang bisa dimasuki masyarakat umum. Bahkan orang yang tak berpendidikan sekalipun.
Ruang publik ini sebuah ruang mandiri yang lepas dari kepentingan negara. Artinya tak ada campur tangan atau pengawasan negara (state), bahkan pasar (market). Karena mandiri, setiap warga negara mempunyai akses untuk mengusung wacana. Tak heran, jika wacana yang muncul dari wakrop ikut berperan dalam perubahan yang terjadi pada ruang negara dan pasar itu.
Ruang publik ini kemudian dipercepat pembentukannya oleh dan pengaruh media massa waktu itu. Bahkan sampai sekarang. Perdebatan ide dan konsep kemudian bermunculan di media massa. Maka, media massa diklaim juga berfungsi atau menjadi pemercepat proses munculnya ruang publik tersebut. Bahkan sampai sekarang media massa berperan dalam pembentukan dan ikut memperkuat ruang publik vis a vis negara.
Warkop
Nah, warkop itu miniatur ruang publik dalam skala kecil. Kriteria bahwa semua bebas berpendapat, tanpa ada hegemoni, tanpa ada kepentingan yang mengatur sudah menunjukan itu semua. Bahkan dari warkop gerakan-gerakan sosial berskala besar bisa dimunculkan dan dipicu.
Mengapa begitu? Sebagaimana saya contohkan di atas. Ini hanya contoh kecil. Mahasiswa bebas ngrasani dosennya. Mereka tidak akan sebebas di warkop dibandingkan saat ada di lingkungan kampus. Bagi sebagian mahasiswa, kampus diibaratkan sebuah institusi yang mengekang kebebasan. Tentu saja kampus tetap mempunyai sistemnya sendiri yang setiap anggotanya patuh pada aturan. Kampus dimanapun dan kapanpun.
Namun coba kita lihat dan bandingkan saat di kampus. Mahasiswa akan merasa takut dan tidak bebas jika berdiskusi di kelas. Bisa jadi mereka sungkan dengan dosennya. Karena dosen masih dipahami sebagai makhluk yang hebat, cerdas, mumpuni dan ideal. Padahal dosen itu juga manusia biasa. Bisa jadi lebih cerdas mahasiswanya. Hanya karena kedudukan dia sebagai dosen akhirnya ditakuti. Ditakuti mahasiswa karena ancaman nilai. Situasi yang kadang “membelenggu”.
Mengapa mereka takut sama dosen? Bisa jadi dosennya memasang raut muka yang membuat mahasiswanya takut. Serius, muka masam, penampilan menakutkan dan lain-lain. Tidak mau dibantah. Sangat mungkin. Maka mahasiswa banyak yang mencari aman. Aman biar tidak ribet berususan dengan dosennya. Maka hubungan yang riil terjadi antara dosen dan mahasiswa itu bisa dilihat setelah mahasiswanya lulus.
Hubungan yang kaku itulah yang membuat mahasiswa di warkop bisa bebas menyuarakan pendapatnya. Bahkan dosennya yang hadir di situ pun mereka tidak tahu. Saya pun tidak perlu marah. Saya juga kadang tidak peduli. Yang penting pekerjaan saya selesai.
Mengapa? Karena warkop itu ruang publik. Mungkin cara mahasiswa itulah yang akan mendewasakan dirinya di masa datang. Memilah dan memilih dari plus minusnya pengalaman. Masalahnya menjadi susah jika dosennya tidak mau belajar bahwa apa yang dilakukannya itu “menyiksa” mahasiswa. Jika dosen tidak banyak bergaul dengan mahasiswa tentu itu juga akan susah. Bagaiaman membuat para dosen itu sadar? Atau sekali-kali dosen itu memang perlu perlu ke warkop biar tahu suasana sebenarnya dunia mahasiswa.
Saat saya mendengar sekelompok mahasiswa yang main kartu dan menggunjing dosennya tersebut telinga saya kadang ikut merah. Tapi buru-buru saya tersadar. Ini bukan ruang kelas atau kampus. Dalam pikiran saya yang terus berputar itu seolah ada yang membisikkan pada saya, “Ini warkop Cuk, bukan ruang kelas”.
*Penulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa dihubungi di twitter: @nurudinwriter dan ID: nurudinwriter.