Bekerja di kantor membawa kematian. Di tahun 2020 ini, tidak ada manusia yang tidak mengenal COVID-19. Serangan pandemi yang sampai sekarang pun belum ditemukan vaksinnya. Sebelum pandemi saja mencari kerja sudah sulit, sekarang rakyat harus bergelut dengan kesulitan mempertahankan kesehatan dan pekerjaan.
Angka kematian semakin bertambah. Banyak pekerja yang terkena PHK dan diliburkan. Keadaan beberapa perusahaan mulai memburuk. Masyarakat sangat merasakan dampak dari COVID-19 ini. Akan tetapi, dunia perkantoran masih diberikan peluang. Pegawai masih bisa bekerja. Program baru yang dinamakan WFH menjadi cahaya baru untuk para pekerja.
Namun, Apakah benar WFH semudah yang dikatakan?
Penderitaan atau Keberuntungan
Kondisi seperti belum memburuk saja sampai ditambahkan lagi dengan keadaan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan data Kemnaker per 20 April 2020, sebanyak 241.431 orang pekerja dari 41.236 perusahaan sektor formal yang di-PHK. Itu belum terhitung para tenaga kerja di sektor informal. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah,
Jumlah yang tidak sedikit dari korban PHK tentu meresahkan para tenaga kerja yang kini menghabiskan waktunya bekerja di bawah kontrak perusahaan tanpa kepastian. Namun pemerintah telah berusaha untuk membantu. Berbagai upaya dilakukan oleh Kemnaker, seperti Kartu Prakerja, Diaspora Peduli, dan Program Padat Karya.
Ida Fauziyah memang mengatakan kepada perusahaan bahwa PHK merupakan langkah terakhir untuk dilakukan oleh pengusaha. Namun, harus diketahui pula bahwa tidak mudah bagi perusahaan untuk mempertahankan seluruh pegawai disaat mereka sendiri kesulitan untuk menjaga bisnisnya dari kemerosotan ekonomi. Sekarang ini, perusahaan sedang berusaha untuk tidak membuat pekerjanya PHK. Hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan karena mereka juga harus memperhatikan kesehatan karyawannya. Meskipun begitu, masih saja banyak nasib pegawai yang terputus hubungan kerja.
Dari 1,2 juta korban PHK yang berkeluh kesah, ada juga pekerja yang masih banting tulang. Namun, bagaimana dengan kesehatan mereka? COVID-19 bukanlah hal yang sepele yang bisa dihiraukan begitu saja.
Jika pemutusan hubungan kerja adalah masalah dalam pandemi, maka Work From Home adalah solusi yang tepat untuk dibicarakan. Pada awal bulan Maret, pemerintah sudah menghimbau perusahaan untuk melakukan “bekerja dari rumah”.
Berbagai Surat Edaran dikeluarkan, seperti Surat Edaran Disnakertrans dan Energi Provinsi DKI Jakartaa Nomor 14/SE/2020 tentang Himbauan Bekerja di Rumah. Surat ini menindaklanjuti Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Risiko Penularan Infeksi COVID-19. Setelah itu, beberapa perusahaan besar, seperti Danone dan Unilever, memberikan respon positif kepada program Work From Home demi kelangsungan bisnis sekaligus menghentikan PHK yang kian menggunung.
Work From Home
Jika kita memperhatikan nasib pekerja di-PHK, bergelut dengan WFH merupakan keberuntungan para tenaga kerja. Kalau begitu apa yang masih menjadi masalah?
Saat Covid-19 melanda, banyak pekerja yang mengatakan gaji mereka berkurang karena bekerja dari rumah. Bahkan terdapat banyak keluhan bahwa para tenaga kerja tidak mendapatkan hak yang semestinya, yaitu THR. Berdasarkan laporan Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya pada Mei 2020, sebanyak 422 pengaduan pembayaran THR dan 313 konsultasi THR.
“326 pelaporan telah dibayarkan sesuai, 274 tidak mampu membayar dengan keterangan yaitu 167 tidak membayar THR, 27 ditunda, 40 dibayar bertahap, dan 40 pemotongan THR.” Ujar Posko Pengaduan THR kepada Kemnaker. (20/5/2020)
Setelah isu permasalahan mengenai THR, muncul lagi perdebatan bahwa WFH tidak efektif untuk para tenaga kerja. Mulai dari kondisi kerja yang tidak mendukung hingga koneksi jaringan yang kurang stabil. Hasil survei dari Engine Insights for Smartsheet mencatat bahwa 80% pekerja milenial mengeluh karena kurangnya komunikasi yang bisa dilakukan melalui online. Sebesar 70% pekerja sulit mengerti hal yang terjadi di dalam perusahaan. Meskipun telah mengadakan video konferensi, telepon, maupun surel, lebih dari 40% pekerja merasa pertemuan secara online tidak efektif.
Setelah semua keluhan mengenai “bekerja dari rumah”, pemerintah akhirnya memperbolehkan perusahaan untuk melakukan WFO dengan memperketat protokol kesehatan. Meskipun begitu, para pengusaha tidak dapat menjamin 100% keselamatan pekerja dari virus corona karena hingga saat ini, masih banyak kasus tenaga kerja tercantum sebagai Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Pada hari Rabu, 8 Oktober 2020, tercatat oleh WHO bahwa pasien Covid-19 di Indonesia terus meningkat hingga 320.564 orang, dengan angka kematian sebesar 11.580 orang.
Banyak pegawai yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja mulai dari sektor formal maupun informal. Akan tetapi, masih banyak pihak yang ingin menghentikan terjadinya PHK. Kemudian, dengan segala halangan untuk bekerja, akhirnya muncul sistem kerja Work From Home.Meskipun begitu, permasalahan seperti pemotongan gaji, tempat kerja yang tidak kondusif, gangguan komunikasi, serta jaringan internet, membuat pengusaha mempertimbangkan kembali program WFH.
Pada akhirnya, para pekerja terbagi dalam 2 kubu, WFH dan WFO. Tentu saja, Work From Office tidak dapat dengan mudah menyelesaikan masalah. Justru memperbesar korban Covid-19. Seharusnya program Work From Home lebih diperketat lagi karena kita telah memasuki era industry 4.0 dimana pekerja dituntut untuk lebih memaksimalkan penggunaan teknologi. Justru bekerja dari rumah merupakan kesempatan yang bagus untuk memikirkan inovasi penggunaan teknologi dalam bekerja. (*)
Penulis: Syafa’ati Aisyah Putri