Sudah hampir satu pekan, umat muslim diseluruh dunia menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bagi orang-orang yang sudah sempat meninggalkan tempat rantau sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berlaku, bisa menjalankan bulan Ramadhan di rumah dengan tenang bersama keluarga. Saya tidak ingin membayangkan bagaimana kesepiannya anak rantau yang tidak bisa pulang dan ‘terkurung’ dikos-kosan, terlebih lagi anak kuliahan. Sudah ‘terkurung’, anak kuliahan pula. Sangat menyedihkan, kan?
Saya jadi ingat momen menjalani bulan Ramadahan saat menjadi anak kos-kosan. Bagi kami, anak kos-kosan, berpuasa bukan hanya sekedar menahan lapar, haus serta hawa nafsu, tapi lebih dari itu. Kami juga harus memikirkan mau makan apa saat berbuka dan sahur. Penyebabnya bisa dua versi, pertama bagi anak kos-kosan dengan keuangan tidak terbatas, dia bingung menentukan mau membeli makanan apa karena saking banyaknya pilihan menu makanan yang dijual. Mulai dari ayam geprek, ayam penyet, lalapan, nasi padang, ayam tulang lunak, ayam krispi, nasi campur dan lainya. Versi kedua adalah anak kos-kosan dengan keuangan terbatas. Saya termasuk dalam versi kedua. Setiap hari saya harus menghitung saldo direkening dengan harga makanan yang ingin saya beli. Begini isi pikiran saya,
“Kalo saya beli ini buat buka dan sahur, cukup gak ya sampai kiriman berikutnya?”
“Atau masak sendiri aja ya biar hemat?”
Seringnya, saya harus bijak mengatur keuangan dengan berbuka puasa cukup minum air putih lalu langsung makan berat. Makan berat bisa langsung membuat kenyang. Tidak perlu berbuka dengan aneka macam jajanan atau es yang sebenarnya sangat menggoda untuk dibeli. Semua demi penghematan.
Jika membahas penghematan saat Ramadhan, saya juga sering berbuka puasa di masjid-masjid yang menyediakan menu makanan berat untuk berbuka. Kota tempat rantau saya yang paling lama adalah Malang dan Batu. Saya selalu menuju masjid 15 menit sebelum berbuka puasa dan pulang setelah sholat teraweh. Di Malang, masjid yang selalu saya datangi adalah masjid Abu Dzar Al- Ghifari atau orang Malang lebih mengenalnya dengan masjid Al-Ghifari di perumahan Griya Shanta. Lalu di Batu, masjid Favorit saya bahkan sebelum Ramadhan adalah Masjid At-Taqwa. Berbuka puasa di masjid, bisa membantu saya untuk menghemat pengeluaran. Hehehehe. Anak kos-kosan harus kreatif kan?
Selain menu berbuka, tantangan berikutnya dan yang paling berat adalah bangun sahur. Beuuhh, bangun sahur itu sangat tidak mudah bagi saya yang kos di kota Batu. Tahu sendiri kan dinginnya kota Batu itu bagaimana? Bikin tidur semakin nyenyak dan enggan bangun tengah malam. Ketika alarm berbunyi, ada dua hal yang sering terjadi. Pertama bangun lalu melihat jam untuk kemudian menunda bangun hingga akhirnya kebablasan tidur sampai subuh dan kedua pura-pura tidak mendengar alarm. Kedunya memiliki kesamaan yang sama, saat bangun rasa penyesalan tidak sahur pasti menghantui.
Cara yang paling ampuh untuk tidak kebablasan sahur yaitu bekerja sama dengan teman kos untuk menggedor pintu kamar sampai penghuninya bangun dan sahur bersama. Kebersamaan saat sahur bisa membuat semangat bangun karena ada teman yang diajak makan bersama. Lumayan bisa mengusir rindu sahur bareng keluarga dirumah. Atau bisa juga dengan meminta bantuan orang rumah menelpon hingga bangun. Saya lebih sering menggunakan cara kedua. Saya meminta orang tua atau saudara untuk menelpon hingga saya terbangun dan mengangkat telepon. Tidak peduli berapa kali mereka menelpon, yang jelas sampai saya bangun. Hehehehe.
Jika saat berbuka puasa saya bisa menghemat dengan pergi ke masjid, maka saat sahur tidak demikian. Saya harus menyiapkan sendiri karena didaerah saya kos, tidak ada warung yang buka saat sahur. Kadang saat rajin, sebelum tidur saya memasak dulu untuk sahur atau membeli makanan di warung sebelah kos-kosan saya. Tapi jika malas sedang datang melanda, menu andalan adalah mie instant plus telur jika masih ada stok telur. Mie instantnya pun bukan mie instant Indom** yang menjadi favorit banyak orang karena banyak pilihan rasanya. Mie instant andalan saya adalah Sarim** atau Suks** isi dua. Pemilihan merk ini bukan tanpa alasan tapi karena mie instant tersebut isi duaaaa~~ (auto nyanyi ala ala iklan). Kalian pasti sering mendengar orang yang galau saat makan mie. Mau makan satu kurang, masak dua kebanyakan. Saya bukan penganut pemikiran itu. Saya memilih mie isi dua setelah membandingkan dari sisi ekonomi. Jika di hitung dari segi harga dan berat mie maka mie instant isi dua jauh lebih murah dibanding membeli Indom** dua. Lagi-lagi demi menekan pengeluaran.
Tahun ini saya sudah tidak lagi menjadi anak kos-kosan, tapi saya bisa merasakan bagaimana sedihnya Ramadhan tanpa keluarga. Semoga kalian, para anak kos-kosan bisa kuat menjalani Ramadhan tahun ini. Kalian kuat…kalian kuat…kalian kuat.
*Penulis merupakan Au Pair di Jerman, Kontributor Media Mahasiswa