PACITAN, MediaMahasiswa.com – Sudah jelang dua tahun sejak bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda kabupaten di ujung barat daya Jawa Timur, Pacitan. Salah satu saksi dari bencana yang berdampak korban tewas dan rumah-rumah yang tertimbun tanah, ialah sebuah sekolah yang terletak di tepi Jalur Lingkar Selatan (JLS). Ialah MI Muhammadiyah Gawang.
Pada rangkaian Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami besutan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkolaborasi dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), salah satu kru Media Mahasiswa turut bergabung. MI Muhammadiyah (MIM) Gawang salah satu yang jadi tujuan ekspedisi, yakni untuk memberikan edukasi tentang kerentanan potensi tsunami di sekolah tersebut. MIM Gawang hanya berjarak tiga kilometer dari bibir pantai.
Saat tim berkunjung ke sana, Zulaikhah, kepala MIM Gawang menceritakan kilas balik sekolahnya yang pernah ‘nekat’ menampung pengungsi terdampak banjir bandang dan tanah longsor pada 2017 silam kendati tak memiliki ‘modal’ untuk melayani mereka. MIM Gawang termasuk mendapat mukjizat. Bagaimana tidak, ketika lingkungan sekitarnya terendam banjir, MIM Gawang yang letaknya berada di bawah rata-rata jalan justru tak terkena luapan banjir sama sekali.
Baca juga: Layakkah 19 Desa di Malang sebagai Desa Tangguh Bencana?
Keadaan yang cukup mencekam dan darurat bantuan saat itu, membuat Zulaikhah memutuskan menampung warga sekitar MIM yang rumahnya terendam banjir. “Ini sudah panggilan hati, panggilan jiwa untuk menolong korban yang saat itu rumahnya terendam banjir. Bagaimana pun, korban adalah warga di lingkungan sekitar sekolah dan tetangga desa kami sendiri.”
Padahal, sekolahnya tak punya ‘modal’ sama sekali untuk melayani pengungsi yang berjumlah hampir 100 orang kala itu. Zulaikhah menggunakan seluruh ruang kelas yang ada untuk menjadi tempat pengungsian warga terdampak banjir hingga hampir tiga minggu. Bahkan, untuk memenuhi logistik pengungsi, Zulaikhah ‘nekat’ berhutang pada warung sekitar.
“Sebelum MDMC masuk ke sekolah kami, kami membuka diri bagi siapapun yang bisa membantu, baik tenaga atau yang lain, kami terima. Bagaimana pun caranya, di warung-warung terdekat kami ‘ngebon’ dulu. Entah bagaimana kami mencarinya (untuk membayar, Red.), yang penting pengungsi bisa nyaman dulu,” kisah Zulaikhah.
Barulah, beberapa hari kemudian, MDMC masuk ke sekolahnya memberikan bantuan. Letak geografis MIM Gawang yang berada di JLS menjadi keuntungan tersendiri. Bantuan berdatangan dari berbagai pihak ketika melihat sekolah tersebut digunakan sebagai tempat pengungsian.
“Ketika saya menerima berbagai bantuan itu, saya berkoordinasi dengan tempat pengungsian lain, juga desa-desa tetangga. Sehingga bantuan yang saya terima ini juga bisa disalurkan pada desa-desa tetangga,” imbuh Zulaikhah.
Baca juga: Dari Kabupaten Malang, Ekspedisi Destana Tsunami Berlanjut ke Kabupaten Blitar
Kehadiran tim Ekspedisi Destana Tsunami ke sekolahnya pada Senin (22/7) menciptakan kebahagiaan tersendiri di hati Zulaikhah. Edukasi pada murid-murid dan guru tentang potensi tsunami di sekolahnya amat diperlukan. Komunitas Relawan Muhammadiyah (KRM) Mahasiswa Relawan Siaga Bencana (Maharesigana) yang turut hadir ke sekolah itu, mengajak siswa-siswa untuk melakukan simulasi sederhana ketika terjadi gempa sebelum tsunami melanda.
Tim MDMC dan Maharesigana mengajak adik-adik menyanyi. Lagunya ialah lagu anak-anak yang liriknya digubah tentang respon ketika ada gempa. Adik-adik harus melindungi kepala, masuk ke kolong meja, menghindari kaca, dan ketika gempa mereda, lari ke tempat terbuka. Mereka juga diajak melakukan permainan yang mengandung muatan respon bencana di lapangan sekolah.
Kabupaten Pacitan menjadi kabupaten terakhir pada rangkaian Ekspedisi Destana Tsunami di segmen provinsi Jawa Timur. Pada Rabu (24/7), ekspedisi akan berlanjut ke segmen provinsi Jawa Tengah diawali dari Wonogiri yang berbatasan langsung dengan Pacitan di sebelah barat. (Isna/MM)