Kata ‘sial’ awalnya memiliki makna yang sama dengan kata ‘musibah’ karena keduanya menjelaskan kondisi susah yang dihadapi oleh seseorang. Seiring berjalannya waktu – secara peyoratif – arti kata sial ditujukan pada kondisi susah akibat kelalaian. Sedangkan pada kata ‘musibah’ mengalami perubahan makna secara amelioratif, sehingga maknanya adalah kesusahan yang datang sebagai ujian dari Tuhan.
Belum cukup demonstrasi pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang memakan ratusan korban, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun seakan kembali menantang rakyatnya. Bagaimana tidak? Di tengah badai pandemi virus corona, dengan kelakar khasnya yang oportunis, DPR kembali membuat rakyat jengkel lantaran ngotot membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law).
Jika diamati secara lebih teliti, RUU Cipta Kerja merupakan gimik jahat yang terbungkus rapi berdalihkan penciptaan lapangan kerja. Konsep pembentukan omnibus law yang tidak dilaksanakan dengan ketentuan single subject clause (undang-undang satu tema) adalah bukti nyatanya, sebab jika omnibus law disusun dengan cara mengambil semua tema, artinya akan terjadi perubahan yang merusak tatanan pada ketentuan lain, dan tentunya syarat sakan kepentingan politik (Feri Amsari: 2020).
Selain daripada itu, muatan materi omnibus law yang tidak disusun berdasarkan single subject clause hanya menjadikan buruh bak sapi perah yang terus dieksploitasi tenaganya. Sekurang-kurangnya, dalam tulisan ini akan dibahas dua permasalahan yang akan membuat buruh semakin merana jika RUU Cipta Kerja disahkan.
Timpang Relasi antara Buruh dan Pemberi Kerja
Orang bijak pernah berkata “Law may regulate people equally, but people are not equal structurally” (hukum mungkin dapat mengatur masyarakat secara seragam, namun struktur dalam masyarakat tidaklah seragam). Paradigma dalam dunia ketenagakerjaan harus dibangun atas landasan bahwa kemampuan buruh secara ekonomi tentu lebih rentan daripada pemberi kerja, sehingga kepada buruhlah perlindungan harusnya diutamakan.
Bagi pemberi kerja yang licik, tentu akan memikirkan siasat sedemikian mungkin agar mendapatkan buruh (pekerja) yang murah namun kinerjanya optimal. Hal ini benar-benar terejawantahkan pada Pasal 56 ayat (3) RUU Cipta Kerja tersebut, di mana ketentuan tentang masa berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) – biasa disebut kerja kontrak – dihapuskan.
Dampak signifikan yang akan terjadi bahwa seorang dapat dipekerjakan dengan status buruh/pekerja kontrak dalam masa yang amat lama. Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengisyaratkan bahwa kerja kontrak hanya bisa diselenggarakan selama dua tahun, kemudian dapat diperpanjang selama satu tahun.
Pembatasan waktu kerja kontrak dalam UU Ketenagakerjaan tersebut sejatinya dimaksudkan untuk melindungi hak-hak buruh yang rentan. Mereka yang bekerja dengan status kontrak tentu berbeda sama sekali dengan mereka yang terikat pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau yang biasa disebut pegawai/ buruh tetap, terutama pada aspek tunjangan, jaminan keselamatan kerja dan lain sebagainya.
Tidak kalah menakjubkan, bahwa RUU Cipta Kerja ini pun mengubah pasal pada UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa perihal hubungan kerja berakhir bukan karena ketentuan dalam undang-undang (seperti masa kontrak habis dan lain sebagainya) maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut harus membayar ganti rugi berupa jumlah upah yang belum terbayar sesuai dengan habisnya masa kontrak seharusnya.
Berbeda sama sekali dengan ketentuan pada pasal 61A ayat (1) dan (2), serta Pasal 62 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa perihal hubungan kerja diakhiri oleh pemberi kerja, maka pemberi kerja cukup membayar kompensasi. Tentu saja kompensasi dengan pembayaran upah yang belum terbayar sesuai waktu kontrak dari segi nominal pun memiliki perbedaan yang signifikan, belum lagi pembayaran kompensasi hanya berlaku apabila pekerja sudah bekerja sekurang-kurangnya satu tahun.
Rancangan Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja Asing
John Gardner pernah mengatakan “No nation can achieve greatness unless it believe in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (Tiada suatu bangsa pun yang mampu menggapai kegemilangan sampai ia percaya akan suatu hal, yang mana hal itu mencakup dimensi moral yang akan mengantarkannya pada peradaban yang besar) (Margarito Kamis: 2014).
Tak berlebihan untuk dikatakan bahwa selain presiden, ternyata DPR kita pun pelupa. Mereka lupa bahwa kita harus benar-benar memegang erat keyakinan dan cita-cita hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Alinea keempat Preambule UUD NRI 1945 menyebutkan “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Perlindungan terhadap bangsa Indonesia adalah politik hukum pertama yang berlaku sebagai pondasi bagi segenap aktivitas pemerintahan di Indonesia.
Tatkala keyakinan moral terbesar bangsa ini hilang – mengutip pendapat John Gardner – tentu saja peradaban besar tidak mungkin dicapai. Hal inilah yang secara nyata terlihat pada ketentuan Pasal 89 RUU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan pada Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur ketentuan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang dipermudah, sehingga menjadi tepat sub-judul pembahasan ini, bahwa RUU Cipta Kerja ini bisa juga disebut RUU Cipta Tenaga Kerja Asing.
Pada penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diketahui bahwa pemberian izin secara ketat TKA di Indonesia tidak lain merupakan usaha agar tenaga kerja Indonesia dapat dioptimalkan. Namun berbeda sama sekali dengan RUU Cipta Kerja yang hanya mengisyaratkan bagi pemberi kerja yang ingin menggunakan TKA cukup menggunakan pengesahan.
Diksi ‘izin’ dan ‘pengesahan’ memiliki implikasi berbeda baik secara filosofis. Istilah ‘izin’ merupakan pengawasan secara ketat yang dilakukan oleh pihak yang berwenang lantaran dikerjakannya sebuah perbuatan yang harusnya tidak boleh dilakukan (Ridwan H.R: 2012) sedangkan pada istilah ‘pengesahan’ sebuah perbuatan yang memang sejak awal sudah baik, oleh pihak yang berwenang diberikan legitimasi lebih kuat untuk diselenggarakan.
Tak kalah menakjubkan, implementasinya tertera amat jelas pada penghapusan bahwa ternyata TKA yang sudah habis masa kerjanya tak lagi diatur ketentuannya. Padahal, UU Ketenagakerjaan menyebutkan “Tenaga kerja asing … yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang…” sehingga dalam hal ini muncullah pertanyaan “Berarti TKA dapat bekerja dalam waktu yang lama di Indonesia?”
Bahaya Londo Ireng Mengintai
Akhir al-Kalam, terdapat dua landasan keadilan yang seharusnya tertenam pada jiwa yang menghendaki kebaikan dalam perspektif John Rawls. Pertama, harus ada jaminan atas kebebasan berpikir dan berkehendak. Pada aspek inilah, jaminan atas kebebasan berpikir dan berkehendak buruh harus dijaga sebaik mungkin, hak berpendapat dan memberikan masukannya harus dijaga karena merekalah subyek yang akan terus menghadapi tantangan dalam masa neo-liberalisasi ini.
Kedua, bahwa atas jaminan kebebasan dan berpikir harus dilekatkan perlindungan pada mereka yang paing rentan. Bukan pada hawa nafsu yang dilekatkan pada perut dan apa-apa yang ada di bawahnya. Apabila keberpihakan jatuh pada nafsu semata, maka akan muncul sosok londo ireng (pengkhianat dalam era kolonialisme). Nasrun min Allah wa fathun qariib. (*)
*Penulis merupakan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya
Editor: Ade Chandra Sutrisna