SASTRA itu untuk apa keberadaannya? Tentu pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini kerap melekat di telinga kita. Sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali bergulir begitu saja, dan bertumpang tindih dengan pertanyaan yang mengusik alam pikir kita.
Pendapatku perihal untuk apa keberadaan sastra ini, masih agak kabur memang. Karena keberadaan sastra saja kadang cenderung menjadi sebuah momok serta menjadi perdebatan tersendiri bagi para pegiatnya. Alih-alih menambah gairah serta menarik minat mereka yang ingin belajar sastra, eh, ternyata bisa menjadi bumerang juga bagi mereka yang menganggap kalau sastra itu harus a, b, c, dan seterusnya.
Eksklusifitas dalam bersastra inilah yang kadang memberikan jarak antara ruang-ruang akademik dengan sastra-sastra jalanan, serta bagi mereka yang ingin mengenal sastra. Ya, sastra sendiri sebenarnya tak pernah membedakan siapapun kamu, apa pangkatmu, dan berasal darimana kamu. Sastra tak pernah membeda-bedakan itu.
Cuma, terkadang ada kelompok-kelompok serta segelintir orang-orang tertentu saja yang merasa memiliki kepentingan, dan kemudian memberikan sekat demi menjaga ekslusifitasnya. Agar kualitas karya terjaga keistimewaannya, yang dalam tanda kutip, bisa jadi disetir sesuai dengan kemauan dan keinginan kelompok-kelompok tertentu.
Jika kita runut dari perjalanannya saja, karya sastra itu saja sudah dikelompokkan menjadi dua bagian oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, untuk kepentingannya dalam meredam kritik. Ialah Bacaan Liar dengan bahasa Melayu Rendah (bahasa pasar) dan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu Tinggi (bahasa formal), sebagai pembeda melalui tulisan-tulisan yang digunakan.
Dari sini situ sudah terlihat dengan jelas bagaimana peran pemerintah dalam mengambil alih ruang kebebasan bersastra dengan mengikuti aturan dan pesanan yang telah ditetapkan. Sedangkan bagi kaum yang tidak sejalan dengan mereka, mereka harus terus berjuang menyampaikan kritik, entah itu melalui lisan maupun tulisan.
Memang sejak dulu, sastra merupakan alternatif perjuangan untuk melawan bagi kaum muda terhadap keadaan. Bahkan Seno Gumira Aji Darma menulis buku dengan tajuk “Ketika Jurnalisme Dibungkan, Sastra harus Bicara”. Tentulah kita jadi tahu bahwa, salah satu tujuan dari keberadaan sastra ialah untuk melawan, melawan apapun yang tidak sesuai dengan alam pikir kita sebagai pemuda.
Jadi pemuda itu harus punya idealis, seperti katanya Tan Malaka kalau “Idealisme ialah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda”. Ya mau gimana lagi, jadi anak muda itu harus resah, resah karena kiriman uang tak kunjung datang, resah karena uang wifi nunggak sebulan, resah karena pesan yang tak dibaca oleh si dia (hiya hiya hiya) dan keresahan-keresahan lainnya.
Intinya resah, karena setiap orang pasti punya keresahannya masing-masing. Lha wong aku nulis ini juga karena aku punya keresahan. Kalo nggak resah, nggak mungkin nulis yang begini. Jadi sebagai pemuda, pertama kita harus resah dulu, terkait dengan media penyampaiannya seperti apa, yo karepmu!
Lihat saja Semaun atau Raden Tirto Adi Soerjo, misal. Mereka lahir dari golongan pemuda yang resah, lalu berani melawan dan mengimplikasikannya ke dalam tulisan, bahkan karya agung milik Max Havelaar pun ditulis oleh Multatuli nama alias dari Eduard Douwes Dekker saja. Hal inipun juga berawal dari keresahan akan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda terhadap rakyat jelata (pribumi).
Tak hanya itu, kalau kita melihat tulisan-tulisan dari Chairil saja sudah sangat jelas, kalau itu digunakan untuk berjuang dan melawan. Satu diantara karya tulis puisi fenomenalnya berjudul “Aku” sebagai representasi dari dan pengobar semangat pemuda dalam berjuang serta melawan. Atau saat Soekarno serta Soeharto turun dari tampuk kekuasaan, ada banyak pemuda yang turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi melalui puisi, teatrikal atau bahkan berdeklamasi.
Ya itu merupakan sebagian bentuk-bentuk dari perlawanan yang dibaluti sastra. Sehingga sastra menjadi sebuah media yang begitu akrab dan digunakan untuk melawan, sastra menjadi perpanjangan tangan dalam menyalurkan energi perlawanan.
Sehingga tak perlulah memberikan sekat atas keberadaan dan ekslusifitasnya, kalau hanya akan membuatnya menjadi terpecah-belah. Apalagi bagi yang merasa dirinya yang paling sastra, buanglah jauh-jauh pikiran itu karena hal yang begitu bisa menjadi duri dalam daging bagi perkembangan sastra itu sendiri.
Biarlah semua mengalir, biarkan semua berproses, biarlah semua berproses di jalannya, agar melalui keberadaan sastra kita bisa belajar, kita bisa berkembang dan sastra akan terus hidup seiring dengan adanya proses tersebut.
Dan sebagai pemuda, keresahan itu tentu sangat dibutuhkan. Karena sastra bisa menjadi ruang yang sangat mudah, praktis serta ramah untuk menyampaikan keresahan yang ada dalam diri kita semua. Terima kasih. Wassalam. (*)
*Penulis merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMM