Oleh: Ade Chandra Sutrisna*
Hoaks jadi istilah paling nge-trend belakangan. Apa sesungguhnya hoaks (Hoax) itu? Apakah nama lain dari bahan pengawet bakso atau ayam tiren yang kerap kita dengar di reality show Investigasi (Tayang perdana: 27 November 2003) Trans TV itu? Oh, itu boraks. He he. Tapi, nampaknya mereka punya fungsi sama; sebagai bahan pengawet. Benarkah demikian?
Mari menilik sejenak konsep ampuh Paul Josep Gobbels; tokoh Nazi yang digadang sebagai bapak propaganda modern. Gobells lahir pada tanggal 29 Oktober 1897, dia merupakan Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi di bawah kekuasaan Adolf Hitler. Dia memiliki sebuah konsep yang dikenal Argentum ad Nausem atau konsep Big Lie – Hoaks, Kebohongan Besar.
Cara kerjanya simpel, hanya dengan menyebarluaskan berita bohong melalui media massa secara -meminjam istilah kekinian- terstruktur, sistematis dan masif (TSM), hingga kemudian kebohongan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Gobbels mempelopori film dan siaran radio sebagai media propaganda massal. Jadi bikin awet (boraks), kan?
Ada satu kutipan yang cukup terkenal dari sang maestro Gobbels, yakni “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis, akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang diplintir sedikit saja.” Demikianlah hoaks bekerja. Ia disebar dan dipropagandakan lantas dipercaya banyak orang sebagai suatu kebenaran. Jadinya ‘awet’.
Kekerasan Budaya Orba
Anti-Komunisme telah menjadi wacana utama (sebagai agenda setting penyebaran hoaks) dalam masyarakat Indonesia sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru (Orba) (1966-1998). Bahkan, dinilai oleh peneliti Genosida asal Jepang (pada seminar tindak lanjut hasil putusan Internasional People’s Tribunal peristiwa 1965 (IPT ’65) yang penulis hadiri di Yogyakarta tahun 2017) tak kalah kejam dengan kekejaman Holocaust Anti-Yahudi oleh Nazi.
Salah satu aspek penting yang memberikan kontribusi terhadap bagaimana ideologi anti-komunisme dibentuk oleh rezim Orde Baru dan dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama adalah kampanye kebudayaan dalam melegitimasi kekerasan terhadap simpatisan Komunis pada 1965-1966. Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” – Wijaya Herlambang bicara tentang bagaimana Orba melegitimasi narasi Anti-Komunisme melalui sastra dan film.
Medsos sebagai Jembatan
Selayaknya jembatan, media sosial (medsos) memfasilitasi beragam pesan (message) untuk diakses secara mudah. Namun demikian, dimaknai dan diinterpretasi secara bebas, juga tentu saja konsekuensinya tidak nir-gangguan (atau dalam istilah Komunikasi dikenal dengan noise). Apa jadinya, jika tafsiran yang ‘semau gue’ itu memang dikehendakioleh si pembuat dalam rangka menyebarkan kabar kebohongan?
Medsos hanyalah sebuah organon, hanyalah alat. Bak pisau, ia tidak akan berfungsi tanpa sebuah entitas yang menggerakkan. Manusialah yang punya kuasa menjadikannya punya fungsi. Bagaimana medsos dipakai, mengapa, dan dengan tujuan apa dia dipakai. Dipergunakan sebagai medium penyampai keburukan ataukah mendakwahkan nilai kebajikan. Semuanya tergantung niat yang punya akses. Betul?
Pilpres Usai = Senjakala Hoaks
Kita tentu ingat ulah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai pengusung Paslon 01 yang menganugerahi Kebohongan Award Awal Tahun 2019 kepada Paslon 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Serta timses Andi Arief. Ketiga nama itu dituduh PSI sudah membuat cerita kebohongan di awal tahun 2019 (baca berita Detik.com (04/01/2019): PSI Beri Kebohongan Award untuk Prabowo, Sandiaga dan Andi Arief).
Kemenangan Capres 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada kontestasi Pilpres 2019, yang diselingi gugatan ke MK oleh Capres 02 tak lantas membuat ‘makhluk tak kasat mata’ ini lenyap (Senjakala) dengan sendirinya. Apapun situasinya, siapapun rezimnya, apapun platform media sosialnya hoaks tinggallah hoaks. Sampai jelang kiamat pun, hoaks tak akan pernah hilang dari muka bumi. Percayalah tidak akan terjadi.
Teknologi yang Maju, atau Kita yang Mundur?
Selagi manusia punya ambisi untuk berkuasa, hoaks akan tetap ada dan berlipat ganda. Selayaknya energi, tak bisa hilang apalagi dimusnahkan. Tentu penulis tak sepakat dengan istilah hoaks positif atau membangun. Hoaks hanya butuh ditekan kemunculannya. Melalui apa? Tentu saja dengan membangun budaya literasi, terlebih di group WhatsApp keluarga, bukan? Karena lahan subur tersebarnya hoaks.
Presiden Joko Widodo di akun Instagram resminya (@jokowi), yang diposting 6 Juli 2019, usai membuka Kongres Guru Indonesia 2019 menuliskan “Ruang kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar. Dunia virtual adalah kampus kita juga, Google adalah perpustakaan kita, Wikipedia adalah ensiklopedia kita, Kindle adalah buku pelajaran kita, dll.” Sampai tulisan ini dibuat, telah berhasil membubuhkan 350 ribu likes netizen.
Bangun Budaya Literasi
Tapi apakah kemajuan dan ragam teknologi akan sejalan dan berbanding lurus dengan kualitas literasi kita? Teknologi hanyalah sebatas alat. Jangan-jangan kita tak mampu mengejar kecepatan itu. Tertinggal kah, atau justru berjalan mundur. Tanpa dibarengi modal literasi yang cukup, masyarakat akan senantiasa terombang-ambing pada kondisi ketidakpastian yang dikhawatirkan berujung perpecahan.
Padahal, misalnya, jika merujuk pada fungsi pers (sebagai salah satu subjek/aktor penyampai pesan), adalah pemberi kepastian di tengah pusaran ketidakpastian. Namun yang berlaku tidaklah demikian. Media, justru lebih memilih lakon sebagai aktor partisan yang tunduk dan patuh pada ‘Tuhan’ rating dan pengiklan. Fungsi utama media sebagai pemberi tuntunan (edukasi), kalah dengan yang sebatas tontonan.
Media mainstream (yang ternyata hanya dimiliki oleh 12 orang saja se-Indonesia), menjadi sebatas perpanjangan dari mulut-mulut para politisi dan pemodal culas. Media terjebak dalam lingkaran setan kejamnya politik-ekonomi media. Tak salah jika merebaknya fenomena Post-Truth di tengah masyarakat kita, tersebab kejengahan masyarakat pada media yang, katanya sih, sebagai pilar demokrasi keempat setelah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Keberadaan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) baru (memiliki 24 lantai dan 3 basement dengan ketinggian gedungnya sekira 126,3 meter, dinobatkan sebagai perpustakaan tertinggi di dunia, Tribunnews.com) yang diklaim mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman, tidak sekedar jadi kebanggaan dari segi fisiknya. Terlebih digitalisasi kepustakaan atau adaptasi dunia kepustakaan dengan teknologi seperti aplikasi baca dan e-book, harus mampu membawa perubahan pada kualitas literasi kita.
Menggiatkan literasi harus mamlu memukul mundur Si Bandel Hoaks. Jangan sampai, karena kebodohan, kejumudan, dan malasnya kita untuk ber-Tabayyun (baca: membudayakan literasi) membuat kita melakukan kesalahan terdahulu (pembantaian, pembunuhan masal, dll), seperti yang dilakukan rezim Orba agar tak kembali terulang. Atau Anda malah ingin, dengan hoaks yang anda share, membuat antara kita saling bunuh seperti dulu? Tentu tidak.
*Penulis merupakan Staf Humas dan Protokoler UMM, pegiat Renaissance Political Research and Studies (RePORT)