MALANG, MediaMahasiswa.com – Korea Selatan, negara yang pada 1960-an masih tergolong miskin dengan GDP per kapita setara Ghana, kini menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Rahasia di balik “Keajaiban Sungai Han” ini diungkap olehProfessor Sung-Young Kim, pakar ekonomi politik dari Macquarie University Australia, dalam serial kelas Kajian Kawasan dalam Hubungan Internasional yang bertajuk “The Economic Development of South Korea: Past to the Present”.
Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
“Korea Selatan membuktikan bahwa kemiskinan bukan takdir. Ini hasil dari desain kebijakan yang berani, konsisten, dan kolaborasi antara pemerintah dengan sektor swasta,” tegas Kim di hadapan mahasiswa.
Kim menjelaskan bahwa konsep developmental state menjadi pondasi transformasi ekonomi Korea. Pemerintah di era Presiden Park Chung-hee (1963-1979) tidak hanya sekadar intervensi, namun merancang kebijakan industri jangka panjang dengan fokus pada sektor manufaktur berteknologi tinggi. “Negara bertindak sebagai arsitek, sementara chaebol seperti Samsung dan Hyundai menjadi pelaksana. Mereka diberi insentif, namun wajib memenuhi target ekspor dan inovasi. Jika gagal, sanksinya jelas,” paparnya.
Data Bank Dunia yang ditampilkan memperlihatkan lonjakan dramatis GDP per kapita Korea dari tahun 1960-an hingga tahun 2023, sementara Indonesia masih terjebak pada stagnasi. “Ini bukan sekadar kerja keras, melainkan governed interdependence—negara dan bisnis saling memperkuat, namun tetap menjaga otonomi,” tambah Kim.
Tantangan terbesar, menurut Kim, muncul pasca-Krisis Finansial Asia 1997 yang memaksa Korea melakukan reformasi struktural. “Banyak chaebol kolaps, namun justru itu momentum untuk demokratisasi ekonomi dan transparansi korporasi. Sekarang, Korea harus menghadapi ketimpangan ekonomi yang menganga dan tekanan geopolitik AS-China,” ujarnya.
Kim juga menyoroti upaya Korea beralih ke ekonomi hijau melalui Green New Deal 2020, meski investasi energi terbarukan masih tertinggal dari Tiongkok. “Mereka sadar pertumbuhan lama tak sustainable. Namun, transisi ini harus diimbangi dengan kebijakan inklusif agar tak meninggalkan kelompok rentan,” imbuhnya.
Dalam tataran ekonomi dan politik Indonesia, Kim menekankan pentingnya belajar dari kesuksesan Korea tanpa menjiplak mentah-mentah. “Indonesia punya sumber daya alam dan SDM melimpah. Namun, tantangan besar bagi Indonesia ialah eksistensi birokrasi yang kompeten dan kebijakan industri yang fokus. Berhenti ekspor bahan mentah seperti nikel—olah jadi produk bernilai tinggi, seperti baterai lithium. Korea dulu mengubah baja impor jadi produk ekspor, sekarang merekalah raksasa semikonduktor,” urai Kim.
“Keajaiban ekonomi bisa jadi bumerang jika tak diimbangi dengan keadilan sosial. Pertumbuhan tinggi di era Park Chung-hee dicapai dengan represi politik dan eksploitasi buruh. Sekarang, tantangannya adalah menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan ramah lingkungan,” pungkasnya. Bagi Indonesia, kisah Korea Selatan bukan sekadar inspirasi, melainkan menjadi sebuah pengingat bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan keberanian menata ulang sistem secara holistik. (*)
Tidak ada komentar