MALANG, Berifakta.com – Fenomena Korean Wave (Hallyu) tidak hanya merambah dunia musik dan drama, melainkan juga kuliner Korea yang kini menjadi identitas budaya global. Hal ini menjadi fokus kuliah Dr. Lynne S. Park dari University of Auckland dalam acara kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute for Korean Studies pada 30 April 2025.
Dr. Park mengupas bagaimana Korean food (K-food) berkembang dari makanan lokal menjadi simbol budaya Korea yang diakui dunia di kelas Kajian Kawasan dalam Hubungan Internasional yang bertajuk “Savoring Korea: A Deep Dive into Korean Food and Dietary Culture”.
Mengacu pada survei Global Korean Food Consumer 2022 yang melibatkan 9.000 partisipan dari 16 negara, Dr. Park menjelaskan: “Korean cuisine menempati posisi kelima sebagai citra Korea di mata dunia dengan 15,2 persen. Di Indonesia, tiga makanan Korea paling simbolis adalah Kimchi dengan 44,3 persen, Tteokbokki 34,6 persen, dan Bulgogi 20,4 persen.” Ia menegaskan bahwa makanan Korea telah berevolusi dari konsumsi domestik menjadi soft power diplomacy yang efektif.
Dr. Park memaparkan transformasi Hallyu dari versi 1.0 (1997-2000an) hingga 3.0 yang dipimpin K-pop dengan jangkauan global melalui platform digital. Drama bertema kuliner seperti Daejanggeum yang mencapai 120 negara dan fenomena Mukbang sejak 2010 menjadi katalis popularitas makanan Korea sekaligus genre hiburan viral global.
Korean diet atau hansik, menurut Dr. Park, merupakan konsep lebih luas yang mencakup sikap, kepercayaan, dan adat istiadat terkait produksi-konsumsi makanan. Struktur hansik dibangun atas empat komponen: Bap (nasi), Kuk (sup), Banchan (lauk pauk), dan Jang (bumbu). “Karakteristik unik hansik terbentuk dari sejarah pertanian Korea, isolasi geografis, serta iklim dengan musim panas panas dan musim dingin panjang keras,” jelas Dr. Park.
Tiga nilai fundamental hansik yang dipaparkan Dr. Park mencerminkan filosofi budaya Korea: rasa hormat dan pertimbangan terhadap orang lain melalui tata krama meja dan konsep shared dishes, keseimbangan dan harmoni dalam memilih banchan yang tepadu dengan bap, serta kesehatan melalui penggunaan beragam ingredien dan metode memasak yang menghasilkan Korean paradox dimana harapan hidup tinggi meskipun konsumsi garam tinggi.
Dr. Park menutup dengan menegaskan pentingnya memahami K-food dan K-diet sebagai identitas budaya global yang melampaui batas geografis sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental Korea. (*)
Tidak ada komentar