Pakar Korea Bicara K-Drama: Ketika Korsel Taklukkan Dunia dan Jadi Senjata Budaya Global

waktu baca 3 menit
Rabu, 28 Mei 2025 00:26 0 1 Redaksi MediaMahasiswa

MALANG, MediaMahasiswa.com – Drama Korea (K-Drama) telah menjelma menjadi fenomena global yang tidak hanya menghibur, melainkan juga merefleksikan dinamika sosial, politik, dan budaya Korea Selatan. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Hee-seung Irene Lee, pakar media dan budaya Korea dari University of Auckland, Selandia Baru, dalam kelas kajian bertajuk “K-Dramas on Global Platforms: Cultural Narratives and Global Impacts”.

Kelas ini digelar sebagai bagian dari kolaborasi akademis Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.

Dr. Lee memaparkan evolusi televisi Korea sejak pertama kali diperkenalkan pada 1956, dengan era 1990-an menjadi titik balik lewat gelombang Hallyu yang membawa K-Drama ke pasar Asia melalui tema universal seperti keluarga, ambisi, dan harmoni sosial. “Ekspor K-Drama tercatat melonjak signifikan, dari pendapatan 101,6 juta pada  2005 hingga menembus 561,3 juta di tahun 2022 Peningkatan ini didorong oleh platform streaming seperti Netflix yang memperluas jangkauan global,” urai Dr. Lee.

Berbagai genre K-Drama turut dibedah sebagai cerminan realitas sosial. Trendy drama seperti Business Proposal (2022) dan Crash Course in Romance (2023) menampilkan kehidupan urban yang glamor dengan fokus pada romansa komedi, meski tak lepas dari sorotan ketegangan kelas dan eksplorasi kebahagiaan individu. Sementara itu, Family Drama seperti Reply (1994) menggambarkan transformasi struktur keluarga Korea, memperlihatkan konflik antar-generasi dan idealisasi keluarga inti.

Di sisi lain, Workplace Drama seperti Misaeng: Incomplete Life (2014) mengkritik budaya korporat pasca-krisis IMF, sementara Hospital Playlist (2020) menonjolkan etos kerja profesional di bidang medis. Tak ketinggalan, Sageuk atau drama sejarah seperti Mr. Sunshine (2018) menghidupkan narasi masa lalu dengan menyertakan perspektif rakyat biasa dan kelompok marginal yang kerap terabaikan.

Misaeng: Incomplete Life adalah kritik tajam terhadap budaya korporat Korea yang hierarkis, sementara Mr. Sunshine merekonstruksi sejarah kolonial dengan memberi suara pada rakyat biasa, sesuatu yang jarang dilakukan buku teks. Di sisi lain, Business Proposal justru mengkapitalisasi fantasi urban kaum muda tentang romansa dan mobilitas ekonomi, meski tetap menyelipkan satire tentang materialisme,” papar Dr. Lee.

Representasi gender dalam K-Drama juga menjadi sorotan. Dr. Lee menjelaskan dualitas antara norma konservatif—seperti romansa berbasis kelas dan pernikahan sebagai klimaks cerita—dengan tren progresif yang mengeksplorasi kebebasan seksual dan identitas gender non-biner, terutama dalam drama yang menyasar audiens muda. Platform streaming seperti Netflix disebut sebagai kunci penetrasi K-Drama ke pasar non-tradisional, dari Amerika Latin hingga Timur Tengah. Serial seperti When Life Gives You Tangerines (2025) dan The Glory (2022) membuktikan kemampuan K-Drama mengangkat tema kompleks sekaligus meraih audiens global.

“Namun, di saat bersamaan, kita masih melihat banyak cerita yang mengidealkan pernikahan sebagai happy ending—cerminan ambivalensi masyarakat Korea antara tradisi Konfusianisme dan gelombang feminisme generasi muda,” tambah Dr. Lee.

Dr. Lee menegaskan bahwa K-Drama bukan sekadar hiburan, melainkan cermin kompleksitas masyarakat Korea yang terus berubah. Dari layar kaca hingga dominasi platform digital, K-Drama telah menjadi medium soft power yang memproyeksikan nilai-nilai Korea ke panggung global.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *