Dosen University of Auckland Bedah Fenomena K-Pop: Dari Teknologi, Kekuasaan, hingga Agensi Penggemar

waktu baca 2 menit
Senin, 16 Jun 2025 10:08 0 1 Redaksi MediaMahasiswa

MALANG, Berifakta.com – Fenomena Korean Wave (Hallyu) dan peran teknologi, kekuasaan, serta agensi artis dan penggemar K-Pop menjadi fokus kuliah Dr. Sunhee Koo dari University of Auckland dalam acara kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute for Korean Studies, didukung Kementerian Pendidikan Korea, pada 21 Mei 2025. Dr. Koo membahas bagaimana K-Pop, sebagai produk budaya global, lahir dari hibridisasi kompleks yang melampaui batas geografis.

Mengacu pada teori cultural flow Arjun Appadurai, Dr. Koo menjelaskan: “K-Pop merupakan manifestasi dari cultural flow dalam era globalisasi yang dikonseptualisasikan melalui lima scapes-nya, yakni ethnoscapes, technoscapes, ideoscapes, financescapes, dan mediascapes. Musik pop Korea berhasil menciptakan identitas transnasional yang melampaui batas geografis dan budaya.” Ia menegaskan bahwa Hallyu bukan sekadar hasil imperialisme budaya Amerika, melainkan “resistensi kreatif melalui strategi hibridisasi yang memungkinkan Korea mengappropriasi elemen-elemen budaya global dan menginskripsikan makna lokal ke dalamnya.”

Dr. Koo juga memaparkan tiga pendekatan globalisasi: “Pertama sebagai perkembangan imperialisme budaya, kedua sebagai proyek modernitas, dan ketiga melalui perspektif hibriditas budaya dan relasi kekuasaan pascakolonial.” Teknologi, menurutnya, menjadi game changer: “Teknologi memberdayakan kelompok-kelompok yang sebelumnya termarginalisasi, memberi agensi bagi artis dan audiens sebagai produsen sekaligus konsumen. Atmosfer budaya partisipatif penggemar menciptakan hibriditas yang mengarah pada persebaran konten media lintas budaya dengan sedikit intervensi media massa atau pemerintah.”

Perkembangan Hallyu 1.0 (1990-an) ke Hallyu 2.0 (pasca-2000-an) menunjukkan transformasi dari distribusi fisik (DVD, konser) ke ekspansi global via media sosial. Kesuksesan BTS di Billboard dan AMA mencerminkan kekuatan platform digital dalam mengubah dinamika industri musik. Dr. Koo menambahkan, ekosistem Hallyu melibatkan interaksi kompleks antara kebijakan pemerintah, ekonomi global, dan kemajuan teknologi.

Di Indonesia, agensi penggemar K-Pop bergeser dari konsumen pasif menjadi aktor perubahan. Dr. Koo menyoroti: “Penggemar K-Pop sekarang dipandang memiliki kekuatan untuk mobilisasi politik. Mereka menggunakan X/Twitter sebagai platform utama untuk mengeksekusi agensi mereka dalam mengatasi isu global dan lokal.” Contohnya, Myday Berserikat yang advokasi hak konsumen dan inisiatif concert freebies sebagai bentuk resistensi terhadap kapitalisme industri.

Dr. Koo menutup dengan menekankan bahwa globalisasi pasca-1990 “memperluas akses suara marginal melalui teknologi, menggeser kekuatan dari top-down ke bottom-up.” Kuliah ini menegaskan pentingnya pendekatan holistik untuk memahami K-Pop bukan hanya sebagai budaya asing, melainkan sebagai identitas transnasional yang lahir dari interaksi lokal-global. Kolaborasi akademis lintas institusi ini menjadi bukti perlunya dialog interdisipliner dalam menganalisis budaya populer di era digital. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *