MALANG, MediaMahasiswa.com – Kebijakan luar negeri Korea Selatan telah mengalami transformasi signifikan sejak era Segyehwa (globalisasi) pada 1990-an, menuju fase baru yang lebih ambisius: Global Korea (2008–2022). Perubahan ini tidak hanya mencerminkan ambisi negara tersebut untuk memperluas pengaruh global, melainkan juga upaya mengatasi ketidakamanan ontologis—krisis identitas yang muncul dari rasa malu dan ketidakpastian terhadap masa depan.
Gagasan tersebut disampaikan oleh Hafid Adim Pradana, M.A dalam kelas Kajian Kawasan oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kelas ini merupakan hasil kerja sama Prodi HI UMM dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Kebijakan Segyehwa di era 1990-an menjadi pondasi awal integrasi Korea Selatan ke dalam tatanan global pasca-Perang Dingin. Namun, sejak 2008, pemerintah Seoul meluncurkan inisiatif Global Korea untuk memperkuat peran negara sebagai aktor internasional yang aktif dalam isu keamanan, pembangunan, dan diplomasi. Langkah ini mencakup partisipasi dalam misi perdamaian PBB, peningkatan bantuan pembangunan resmi (ODA), serta diplomasi budaya melalui gelombang K-pop dan industri kreatif.
Adim, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa jika diretas melalui teori Keamanan Ontologis, negara tidak hanya mengejar keamanan fisik, namun juga stabilitas identitas nasional. Korea Selatan, sebagai negara yang pernah terpuruk akibat kolonialisme Jepang dan Perang Korea, kerap menghadapi rasa malu akibat kesenjangan antara identitas yang diinginkan (negara maju dan dihormati) dengan realitas sejarahnya,” jelasnya.
Ia juga tak luput menambahkan bahwa diskontinuitas muncul dari ketidakpastian akan stabilitas identitas di tengah dinamika geopolitik, seperti ketegangan dengan Korea Utara atau tekanan dari kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok.
Mengutip ahli seperti Hugo von Essen dan Augustus Danielson, Adim menyoroti tiga sumber ketidakamanan ontologis yang dihadapi Seoul, antara lain: refleksif (kritik internal terhadap ketidakmampuan negara memenuhi standar global), relasional (interaksi dengan aktor lain, seperti persaingan dengan Jepang atau ketergantungan pada AS), dan sistemik (tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma internasional, seperti demokrasi dan HAM).
“Melalui Global Korea, Seoul berupaya membangun narasi baru sebagai ‘negara global yang bertanggung jawab’. Kontribusi dalam agenda perubahan iklim, keanggotaan di Dewan Keamanan PBB, dan diplomasi kesehatan global selama pandemi COVID-19 menjadi bukti komitmen ini. Langkah ini tidak hanya memperkuat kepentingan materiil, namun juga membentuk identitas kolektif yang lebih stabil, mengurangi rasa malu dan ketidakpastian masa lalu,” urai Kepala Lab HI UMM tersebut.
Meski dianggap sukses meningkatkan citra Korea Selatan, kebijakan Global Korea masih diuji oleh kompleksitas hubungan dengan negara tetangga dan tekanan sebagai “negara tengah” di kerlingan AS dan Tiongkok. Namun, upaya Seoul menunjukkan bahwa keamanan ontologis bukan hanya konsep teoretis, melainkan bagian integral dari strategi negara untuk bertahan di panggung global.
“Dapat dilihat bahwa transformasi kebijakan luar negeri Korea Selatan mencerminkan perjalanan panjang dari negara yang pernah terfragmentasi menjadi aktor yang percaya diri, membuktikan bahwa stabilitas identitas sama krusialnya dengan keamanan fisik dalam diplomasi abad ke-21,” ujar Adim mengakhiri kelas. (*)